Jumat, 13 Desember 2013

TREMATODA

TREMATODA

A. Definisi
Trematoda disebut sebagai cacing isap, adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Platyhelminthes. Jenis cacing Trematoda hidup sebagai parasit karena cacing ini memiliki alat penghisap (sucker). Alat penghisap ini terdapat pada mulut di bagian anterior yang digunakan untuk menempel pada tubuh inangnya, makanya disebut pula cacing hisap. Pada saat menempel cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inangnya. Dengan demikian maka Trematoda merupakan hewan parasit, karena merugikan dengan hidup ditubuh organisme hidup dan mendapatkan makanan dari inangnya.
Trematoda dewasa umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula. Permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.
B. Morfologi
Cacing dewasa : pipih dorsoventral, simetris bilateral, tak berongga
Ukuran : 1-75 mm
Tanda khas : 2 buah batil isap ( mulut dan perut )
Bersifat hermaprodit
Telur berada dalam : saluran hati, usus, paru, pembuluh darah
Hospes Perantara I ( HP I ) : keong air
Hospes Perantara II ( HP II ) : ikan, ketam, udang
C. Patologi
Usus : gastrointestinal ringan : muntah, diare
Paru : batuk, sesak, batuk darah
Hati : radang saluran empedu, ikterik (kuning), sirrosis hati
Darah : pseudo abses, fibrosis jaringan
Diagnosis : ditemukan telur di tinja, dahak, biopsi jaringan dan serologi
D. Jenis
a) TREMATODA PEMBULUH DARAH
1. Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing ini berbeda dengan Trematoda yang lain karena bentukna yang khas, yaitu kecil memanjang dengan jenis kelamin terpisah. Terdapat 3 spesies trematoda darah ini, yaitu Schistosoma japonicum, S. haematobium, dan S. mansoni.
Schistosomiasis pada manusia dibagi dalam 3 stadium, yaitu:
a. Perkembangan: mulai saat serkaria menembus kulit sampai menjadi cacing dewasa.
b. Pengeluaran telur secara aktif oleh cacing dewasa.
c. Proliferasi dan perbaikan.
Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

2. Hospes dan Nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis.

3. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Dibagain ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada didalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, beukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm. Pada umumnya uterus 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama di kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas didalam air. Larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu siput air dan tidak ada hospes perantara kedua. Mirasidium msauk kedalam tubuh siput air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan metaserkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk onfektif cacing Schitosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk kedalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi cacing adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk kedalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, kecabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa dihati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.

4. Distribusi geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan Lembah Napu.

5. Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksiasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah Circumoval perecipitin test, Indirect haemagglutination test, Complement fixation test, Fluorescent antibody test dan Enzme linked immunosorbent assay.

7. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan Lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain menusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat siput di daerah danau lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau pinggir parit diantara sawah
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah
Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemem Kesehatan melalui Subdirektorat Pembrantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman ( Subdit, P2M $ PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan.

b) TREMATODA HATI
Cacing ini merupakan parasit mamalia yang makan ikan dan parasit pada manusia di Jepang, RRC, Korsel, Taiwan , dan Vietnam. Macam-macam spesies Trematoda yang menginfeksi gari manusia dan hewan yaitu: Familia Opisthrochidae; Clonorchis sinensis, Opistorchis felineus, O. viverini, dan Familia Fasciolidae; Fasciola hepatica dan Fasciola gigantic. Cacing ini memiliki daur hidup yang kompleks karena melibatkan sedikitnya dua jenis inang, yaitu inang utama (ternak, manusia, ikan) dan inang perantara (siput air).
Daur hidup cacing ini terdiri dari :
1) Fase seksual : di inang utama (saat cacing dewasa)
2) Fase aseksual : di inang perantara (tubuh siput) dengan membelah diri saat larva. Larvanya berubah 3 kali ditubuh siput Lymnea. Urutan cyclusnya adalah telur-mirasidium-sporosis-redia-cercaria-metacercaria-metacercaria berekor berenang ke tanaman sekitar air-dimakan inang utama-masuk jadi cacing dewasa-di tubuh inang utama cacing dewasa hidup di hati-bertelur di usus-ikut feses sembarangan di lingkungan-masuk air-telur menetes jadi mirasidium-berenang mencari siput Lymnea.
Beberapa jenis cacing hati yangdapat menginfeksi manusia antara lain sebagai berikut :
a). opisthorchis sinensis (cacing hati cina)
hidup pada organ hati manusia, inang perantaranya siput air dan ikan.
b). schistosoma japonicum
hidup di pembuluh darah pada saluran pencernaan manusia. Inang utamanya manusia. Cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis dengan ciri demam, anemia, disentri, berat badan turun, dan pembengkakan hati.

c) TREMATODA PARU-PARU
1. Penyebaran
Trematoda yang hidup dalam paru-paru manusia dan mamalia. Cacing ini ditemukan di daerah Timur Jauh. Daerah endemik utama adalah Jepang, Korsel, Muangthai, Taiwan, Tiongkok, dan Filipina.

2. Morfologi dan Siklus Hidup Paragonimus westermani.
Cacing ini merupakan cacing daun yang berwarna merah coklat, bentuknya tebal, seperti biji kopi. Ukurannya 8-16 mm panjang dan 4-8 mm lebarnya. Hospes perantara I cacing ini adalah siput dari genus Hua, sedangkan hospes perantara II adalah dari ketam air tawar dan udang.

3. Patologi dan Gejala Klinis
Di dalam paru-paru P. westermani menyebabkan timbulnya reaksi haringan yang nyata yaitu dengan infiltrasi leukosit eosinofil neutrofil. Gejala klinis tergantung dari jumlah cacing dalam tubuh hospes definitive. Ketika kista pecah timbul batuk-batuk disertai meningkatnya produksi sputum yang kental dengan bercak-bercak darah dan nyeri dada.
4. Diagnosis
Gejala paru-paru, sputum berbercak darah di daerah endemik mengarahkan ke paragonimiasis. Diperkuat dengan menemukan bentuk telur dalam sputum atau dalam tinja penderita.

5. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengobatan
Di daerah Timur Jauh dan Afrika, anjing dan kucing merupakan hospes reservoir. Pencegahan:
a. Pendidikan kesehatan masyarakat serkaria menembus kulit sampai menjadi cacing dewasa.
b. Pengeluaran telur secara aktif oleh cacing dewasa.
c. Proliferasi dan perbaikan.

6. Diagnosis
Di daerah endemic penyakit shistosomiasis dapat diduga stadium perkembangan dengan timbulnya gejala bercak merah pada kulit, gejala toksik, alergi, kelainan hepar, dan paru-paru. Dapat pula dilakukan pemeriksaan serologis dengan berbagai cara.

7. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengobatan
Infeksi S. japonicum banyak terjadi di Timur Jauh, Cina, Indonesia, Jepang, dan Filipina. Infeksi S. haemoatobium terjadi di Afrika, Asia kecil, Cyprus, dan pulau-pulau di pantai Timur afrika, Portugal Selatan, dan India. Infeksi S. mansoni terjadi di Afrika Barat dan Tengah, Mesir, Malagasi, dan Jasirah Arab.

Pemberantasan skistosomiasis dilakukan dengan perbaikan irigasi, penggunaan moluskisida untuk mengurangi populasi keong sehingga menghalangi terjadinya penularan. Pengobatan: pemberian kalium/natrium ammonium tartrat secara intravena dalam dosis maksimum dan teratur.

d) TREMATODA USUS
Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari keluarga Fasciolidae, Echinostomatidae dan Heterophydae. Dalam daur hidup termatoda usus tersebut, seperti pada trematoda lain, diperlukan siput sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium menjadi sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria. Serkaria yang dibentuk dari redia, kemudian melepaskan diri untuk keluar dari tubuh siput dan berenang bebas dalam air. Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa siput jenis lain yang lebih besar, beberapa jenis ikan air tawar, atau tunbuh-tunbuhan air.
Manusia mendapat penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara II yang tidak dimasak sampai matang

A). Keluarga Fasciolidae
1). Hospes dan Nama penyakit
Kecuali manusia dan babi yang menjadi hospes definitive cacing tersebut, hewan lain seperti kucing, anjing dan kelinsi juga dapat dihinggapi. Penyakit yang disebabkannya disebut fasiolopsiasis.

2) Distribusi Geografik
Fasciolopsis buski adalah cacing trematoda yang sering ditemukan pada manusia dan babi di RRC. Cacing ini juga dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Vietnam, Thailand, India dan Indonesia.

3) Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5 cm dan lebar 0,8-2,0 cm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari perifaring yang pendek,faring yang menggelembung, esofagus yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua identasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem di bagian poterior cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum, meliputi badan cacing setinggi batil isap perut sampai keujung badan. Ovarium bentuknya agak bulat. Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing, untuk bermuara pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap perut.

Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operkulum yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130-140 mikron dan lebar 80-85 mikron. Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15000-48000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut dalam air bersuhu 27°-32°C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu. Mirasidium yang bersilia keluar dari telur yang menetas, berenang bebas dalam air untuk masuk ke dalam tubh hospes perantara I yang sesuai. Biasanya hospes perantara I tersebut adalah keong air tawar, seperti genus segmentia,Hippeutis, dan Gyraulus. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista yang kemudian berpindah ke daerah jantung dan hati keong. Bila sporokista matang, menjadi koyak dan melepaskan banyak redia induk. Dalam redia induk dibentuk banyak redia anak, yang pada gilirannya membentuk serkaria.

Serkaria, seperti mirasidium, dapat berenag bebas dalam air, berbentuk seperti kecebong, ekornya lurus dan meruncing pada ujungnya, berukuran kira-kira 500 mikron dengan badan agak bulat berukuran 195 mikron X 145 mikron. Badan serkaria ini mirip cacing dewasa yaitu mempunyai batil isap kepala dan batil isap perut. Mirasidium atau serkaria yang dalam batas waktu tertentu belum menemukan hospes, akan punah sendiri. Serkaria dapa berenang dengan ekornya, atau merayap dengan menggunakan batil isap. Serkaria tidak memiliki kecenderungan untuk memilih tumbuh-tumbuhan tertentu untuk tumbuh menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Tumbuh-tumbuhan yang banyak dihinggapi metaserkaria adalah Trapa, Eliocharis, Eichornia dan Zizania. Tumbuh-tumbuhan seperti Nymphoea lotus dan Ipomeea juga dihinggapi metaserkaria. Bila seorang memakan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tanpa dimasak sampai matang, maka dalam waktu 25-30 hari metaserkaria tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam waktu 3 bulan ditemukan telurnya dalam tinja.

4). Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa Fasciolopsis buski , melekat dengan perantaraaan batil isap perutnya pada mukosa dinding halus seperti duodenum dan yeyunum. Cacing ini memakan isi usus, maupun permukaan mukosa usus. Pada tempat pelekatan cacing tersebut, terdapat peradangan, tukak (ulkus), maupun abses. Apabila terjadi erosi kapiler pada tempat tersebut, maka tinbul pendarahan. Cacing dalam jumlah besar dapat menyebabkan sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut. Pada infeksi berat, gejala intoksikasi dan sensitisasi oleh karena metabolit cacing lebih menonjol, seperti edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Kematiaan dapat terjadi karena keadaan merana (exhaustion) atau intoksikasi.

Gejala klinis yang dini pada akhir inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare yang mulanya diselingi konstipasi, kemudian menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien, napsu makan cukup baik atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami mual, muntah, atau tidak mempunyai selera; semua ini tergantung berat ringannya penyakit.
Diagnosis
Sering gejala klinis seperti diatas bila didapatkan disuatu daerah endemi, cukup untuk menunjukan adanya penderita fasiolopsiasis; namun diagnosis pasti adalah dengan menemukan telur dalam tinja.

Morfologi telur Fascialopsis buski hendaknya dapat dibedakan dari telur cacing Fasciola hepatica, gastrodiscoides hominis atau Echinochasmus perfiolatus.
Pengobatan
Obat yang efektif untuk cacing ini, adalah diklorofren, niklosamid, dan prazikuantel.

Prognosis
Penyakit fasiolopsiasis yang berat mungkin menyebabkan kematian, akan tetapi bila dilakukan pengobatan sedini mungkin, masih dapat memberi harapan untuk sembuh. Masalah yang penting adalah reinfeksi, yang sering terjadi pada penderita.

Epidemiologi
Infeksi pada manusia tergantung dari kebiasaan makan tumbuh-tumbuhan air yang mentah dan tidak dimasak sampai matang. Membudidayakan tumbu-tumbuhan air di daerah tercemar dengan kotoran manusia maupun babi, dapat menyebarluaskan penyakit tersebut. Kebiasaan defekasi, pembuangan kotoran ternak dan cara membudidiayakan tumbuh-tumbuhan air untuk dikonsumsi harus diubah atau diperbaiki, untuk mencegah meluasnya penyakitb fasiolopsiasis.

Fasiolopsiasis endemik di desa Sei Papuyu, Kalimantan Selatan. Prevalensinya 27,0%. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun, yaitu 56,8%,sedangkan pravelensi pada anak sekolah 79,1%. Survei 12 bulan setelah pengobatan menunjukan prevalensi yang tidak banyak berbeda karena kemungkinan terjadinya reinfeksi.



b) Keluarga Echinostomatidae
1). Sejarah
Cacing genus Echinostoma yang ditemukan oleh manusia kira-kiara 11 spesies atau lebih.
Garrison (1907) adalah sarjana yang pertama kali menemukan telur Echinostoma ilocanum pada narapidna pribumi di Filipina. Tubangui (1931), menemukan bahwa Rattus rattus norvegicus, merupakan hospes reservoar cacing tersebut. Chen (1934) meleporkan bahwa anjing setempat di Canton, RRC, dihinggapi cacing tersebut. Brug dan Tesch (1937), melaporkan spesies Echinostoma Lindoense pada manusia di Palu, Sulawesi Tengah, Bonne, Bras dan Lie Kian Joe (1948), menemukan Echinostoma ilocanum pada penderita sakit jiwa di Jawa.
Berbagai sarjana telah melaporkan, bahwa di Indonesia di temukan lima spesies cacing Echinostoma, yaitu: Echinostoma ilocanum, Echinostoma malayanum, Echinostoma lindoense, Echinostoma recurvatum dan Echinostoma revolutum.

2). Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing keluarga Echinostomatidae sagat beraneka ragam, yaitu manusia, tikus, anjing, burung, ikan, dan lain-lain (poliksen). Penyakitnya disebut ekinostomiasis.

3). Distribusi Geografik
Ditemukan di Filipina, Cina, Indonesia dan India.

4). Morfologi dan Daur Hidup
Cacing Trematoda dari keluarga Echinostomatidae, dapat dibedakan dari cacing trematoda lain, degan adanya cici-ciri khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51 buah. Letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta samping batil isap kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 mm hingga 13-15 mm Dan lebar 0,4-0,7 mm hingga 2,5-3,5 mm.

Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya sebelah lateral, meliputi 2/3 bdan cacing dan melanjut hingga bagian posterior. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, mempunyai warna agak merah ke abu-abuan. Telur mempunyai operkulum, besarnya berkisar antara 103-137 x 59-75 mikron. Telu setelah 3 minggu dalam air, berisi tempayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas, mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I ynag berupa keong jenis kecil seperti genus Anisus, Gyraulus, Lymnaea, dan sebagainya.

Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokist, kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang kemudian membentuk serkaria. Serkaria yang pada suatu saat berjumlah banyak, dilepaskan ke dalam air oleh redia yang berada dalam keong. Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah jenis keong yang besar, seperti genus Vivipar, Bellamya, Pila atau Corbicula.

Ukuran besar cacing, jumlah duri-duri sirkumoral, bentuk testis, ukuran telur dan jenis hospes perantara, digunakan untuk mengidentifikasi spesies cacing.

5). Patologi dan Gejala Klinis
Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau ulserasi. Pada anak menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan edema.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan
Tetrakloroetolen adalah obat yang dianjurkan, akan tetapi penggunaan obat-obat baru yang lebih aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.

Prognosis

Penderita biasanya tidak menunjukan gejala yang berat, dapat sembuh setelah pengobatan.

Epidemiologi
Keong sawah yang digunakan untuk konsumsi sebaiknya dimasak smpai matang, sebab bila tidak, metaserkaria dapat hidup dan tumbuh menjadi cacing dewasa.

C). Keluarga Heterophyidae
1). Sejarah
Cacing keluarga Heterophyidae adalah cacing trematoda kerdil, berukuran sangat kecil, hanya kurang lebih beberapa milimeter.
Cacing ini pertam kali ditemukan oleh Bilharz (1851) pada autopsi seorang Mesir di Kairo.

2). Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing ini sangat banyak, umumnya makhluk pemakan ikan seperti manusia, kucing, anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu.
Nama penyakitnya adalah heterofialisis.

3). Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Mesir, Turki, Jepang, Korea, RRC, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.
Cacing dari keluarga Heterophyidae adalah: Heterophyes, Metagonimus yokogawai dan Haplorchis yokogawai.

Di Indonesia, Lie Kian Joe (1951) menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada autopsi 3 orang mayat.

4). Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dari keluarga Heterophyidae berukuran panjang antara 1-1,7 mm ddan lebar antara 0,3-0,75 mm, kecuali genus Haplorchis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-0,3 mm. Di samping batil isap perut, ciri-ciri khas lain adalah, batil isap kelamin yang terdapat di sebelah kiri belakang.
Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak bulat dan 14 buah folikel vitelin yang letaknya sebelah lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-kelok, letaknya di antara kedua sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai operkulum, berukuran 26,5-30 x 15-17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar/payau, seperti genus Pirenella, Cerithdia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Acanthogobius, Clarias dan lain-lain sebagai hospes perantara II. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi banyak redia induk, berlanjut menjadi banyak redia anak untuk pada gilirannya membentuk banyak serkaria. Serkaria ini menghinggapi ikan-ikan tersebut dan masuk kedalam otot-ototnya untuk tumbuh menjadi metaserkaria.

Manusia mendapatkan infeksi karena makan daging ikan mentah, atau yang dimasak kuarang matang. Pada ikan genus Plectoglossus dan sejenisnya, metaserkaria tidak masuk ke dalam otot, akan tetapi hinggap di sisik dan siripnya.

Metaserkaria yang turut dimakan dengan daging mentah, tumbuh menjadi cacing dewasa dalam 14 hari dan bertelur.

5). Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi cacing keluarga Heterophyidae, biasanya stadium dewasa menyebabkan iritasi ringan pada usus halus, tetapi ada beberapa ekor cacing yang mungkin dapat menembus vilus usus. Telurnya dapat menembus masuk aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau otot jantung dan mengakibatkan payah jantung. Kelainan ini terutama dilaporkan pada infeksi cacing Metagonimus dan Haplorchis yokogawai. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang dijaringan otak dan menyebabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas atau kolik dan diare berlendir, serta nyeri tekan pada perut.

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan


Prognosis
Penyakit heterofiasis biasanya ringan dan tidak membahayakan, dapat diobati sampai sembuh.

Epidemiologi
Menusia, terutama pedagang ikan dan hewan seperti kucing, anjing dapat merupakan sumber infeksi bila menderita penyakit kucing tersebut. Telur cacing dalam tinja dapat mencemari air serta ikan yang hidup didalamnya. Hospes definitif mendapatkan infeksi karena memakan daging ikan mentah yang mengandung metaserkaria hidup. Ikan yang diproses kurang sempurna untuk konsumsi, seperti fessikh, dapat juga menyebabkan infeksi. Sebagai usaha untuk mencegah meluasnya infeksi cacing Heterophyidae kebiasaan makan ikan mentah harus dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar